"Peganglah Ini T'rus!" (Amerika Serikat, abad ke-20)
Jimmy duduk di depan, di sisi ayahnya yang sedang
menyetir mobil. "hati-hati, Jimmy," kata Ayah, "kau harus bantu Ayah
lihat t'rus pada mobil Paman John yang di depan sana. Kita akan
mengikuti jejaknya dari North Carolina sampai ke Indiana. Khususnya
perhatikan kalau ada mobil lain yang menyelinap masuk, atau kalau mobil
kita harus berhenti di stopan."
Si Jimmy senang dapat membantu ayahnya. Sudah
berminggu-minggu lamanya ia mengharapkan saat keberangkatan mereka.
Jimmy dengan kedua orang tuanya menaiki mobil yang satu, sedangkan Paman
John dengan tiga anggota gereja menaiki mobil yang satunya lagi. Mereka
akan menghadiri suatu pekan persekutuan gereja di negara bagian
Indiana. Wah, betapa senangnya bepergian bersama-sama!
Tetapi pada hari pertama dalam perjalanan mereka,
pada waktu sinar matahari terasa paling terik, kira-kira jam satu siang
salah satu ban mobil Ayah bocor. Ayah membunyikan klakson dua kali
panjang, sekali pendek, dan sekali lagi panjang. Itulah aba-aba yang
telah disetujui, agar mereka di mobil yang di depan dapat segera
mengetahui bahwa ada sesuatu yang tidak beres dengan mobil yang
dibelakang.
Mobil Paman John mundur pela-pelan sampai ke tempat di mana Ayah sibuk bekerja. Ia sudah mengeluarkan ban serep dan dongkrak.
"Wah, kurang mujur!" kata Paman John.
"Yah, tapi mujur juga. Terjadinya persis di sini, dibawah naungan pohon besar," balas Ayah.
Kedua bapak itu mulai bekerja sama, agar dapat lebih
cepat selesai. Si Jimmy dan ibunya dan para penumpang lainnya itu
menunggu di tempat yang teduh.
"Nah! Sekarang beres," kata Paman John. "Dan
sekarang aku haus." Ia melihat sekeliling. Agak jauh dari jalan,
kelihatan sebuah rumah kecil. Di serambi mukanya duduk seorang perempuan
tua; kulitnya hitam legam dan rambutnya putih bersih. Ia duduk dengan
memangku sebuah buku besar.
Paman John menunjuk ke arah perempuan tua itu. "Hei Jimmy, coba kau lari ke sana dan minta air minum," suruhnya.
Setelah si Jimmy sampai ke undak-undakan rumah, ia
pun naik ke serambi. Perempuan tua itu berpaling ke arahnya tetapi tidak
berkata sepatah kata pun. "Tolong, Ibu," kata Jimmy, "kami harus ganti
ban yang bocor; kami semua haus. Boleh kami minta air minum di sini?"
Perempuan tua itu tersenyum. "Air minum? Wah, ada
mata air yang airnya paling manis sana, di hutan, di belakang bukit
kecil. Ini, Nak peganglah ini t'rus dan kau akan sampai ke sana!" Seraya
menjelaskannya, perempuan tua itu meletakkan tangannya pada seutas tali
kuat yang diikatkan pada tiang serambi muka. Kelihatannya tali itu
terbentang di sepanjang halaman, lalu menghilang di belakang rumah.
Jimmy mengucapkan terima kasih. Lalu dengan sedikit
ragu-ragu ia mulai memegang tali itu. Terus ia mengikutnya, . . .
menyeberang halaman rumah, . . . masuk hutan, . . . terus mengikuti tali
sampai di belakang sebuah bukit kecil. Di situ ia memang menemukan
sebuah mata air. Dan benar juga, airnya manis sekali, lagi sangat
dingin.
Setelah minum, Jimmy lalu kembali ke pinggir jalan
dan menunjukkan tempatnya kepada orang lain. Mereka pun pergi ke sana
dan minum sampai puas.
"Aku akan ke rumah ibu tua itu bersama kamu," kata
Ayah kepada Jimmy. "Aku ingin menanyakan petunjuk jalan. Dan kita harus
berterima kasih sekali lagi kepada ibu tua itu atas air minumnya."
Pelan-pelan mereka berdua berjalan melalui hutan
kecil, lalu menyeberangi halaman rumah. "Sudah jelas orang yang tinggal
di sini suka bunga," kata Ayah. "Belum pernah aku mencium sekian banyak
bau wangi."
Pada saat mereka mendekati serambi muka, perempuan
itu masih tetap duduk di sana. Tetapi ia tidak menoleh ke arah mereka.
Rupa-rupanya matanya ditujukan ke depan, bukan arah buku besar yang
sedang dipangkunya. Namun jari-jarinya bergerak dengan sangat cepat di
atas halaman-halaman buku besar itu.
"Wah, dia orang buta!" Ayah berbisik kepada Jimmy.
"itulah sebabnya ada tali: Untuk membimbing dia sampai ke mata air. Dan
itulah sebabnya pula ia suka menanam bunga. ia tidak dapat melihatnya,
namun ia dapat menikmati bau wanginya.
Rupanya pendengaran perempuan tua itu masih tajam,
walau matanya buta. Ia mendengar suara bisikan itu, lalu ia berpaling ke
arah Jimmy dan ayahnya. "Bagaimana Nak? Kau menemukan mata air itu?
Segar rasanya pada hari yang panas terik seperti hari ini, ya?
"Memang segar, ibu, "jawab Jimmy dengan sopan. "Dan enak sekali!"
Lalu Ayah turut berbicara. "Kami berhutang budi
kepada Ibu," katanya. Sejenak kemudian ia pun menambahkan: "Adakah
apa-apa yang dapat kami kerjakan untuk Ibu, sebelum kami meneruskan
perjalanan?"
Perempuan tua itu tersenyum. "O tidak, pak, terima
kasih. Tidak usah. Kalian dapat melihat sendiri, mataku ini sudah rusak.
Sejak kecil, malah. Tapi aku tidak perlu bantuan. Tidak usah!" Dan ia
tertawa riang.
"Pasti ibu tidak tinggal sendirian di sini!" cetus Ayah.
"Sendirian! Dan aku suka tinggal di sini!" jawab
perempuan tua itu sambil tertawa lagi. "Putraku, dia yang pasang
tali-tali untukku. Tali ini, sampai ke mata air. Tali sana, sampai ke
kandang ayam. Tali lain lagi, sampai ke pohon buah. Dan ada juga tali,
sampai ke kebun sayur. Kalau di dalam rumah, tidak usah pakai tali
segala, sebab aku dapat meraba-raba dan berjalan-jalan ke mana-mana."
Sekali lagi ia tersenyum ke arah Jimmy dan ayahnya,
walau ia tidak dapat melihat mereka. "Aku hanya pegang tali-taliku
t'rus," katanya lagi. Lalu ia pun mengangkat buku besar yang ada di
pangkuannya itu. "Kalian tahu, ini apa?"
"Aku tahu itu sebuah buku Braille, yang dicetak
dengan huruf-huruf timbul yang dapat diraba oleh jari-jari," jawab Ayah.
"Dan kalau tidak salah, buku itu Alkitab."
"Betul! Betul!" kata perempuan berkulit hitam itu
dengan nada suara yang gembira. "Nah, dengarlah, kalian, pada nasihat
seorang yang sudah tua: Tadi kalian memegang taliku t'rus dan kalian
sampai ke mata air. Nah, peganglah Alkitab ini t'rus, dan kalian akan
sampai ke surga!"
"Benar, Ibu," kata Ayah.
Prempuan tua itu meletakkan tangannya yang
berkeriput itu pada tali yang menuju mata air. "Peganglah ini t'rus
mendapat air minum," katanya. Lalu ia menjamah tali yang menuju ke
kebun. "Peganglah ini t'rus, mendapat makanan." Kemudian dengan penuh
rasa kasih dan khidmat ia meletakkan tangannya pada Alkitabnya yang
besar. "Peganglah ini t'rus, mendapat Tuhan Allah. Dan inilah taliku
yang paling penting!"
"Benar," kata Ayah lagi. "Ibu, kalau aku, aku tidak
usah memegang tali-tali seperti Ibu. Namun aku berusaha terus memegang
ajaran-ajaran Alkitab. Sama halnya dengan anakku ini, juga sama dengan
yang lainnya yang sedang bepergian bersama-sama dengan kami."
"Bagus! Bagus!" kata perempuan tua itu sambil tersenyum lebih lebar lagi.
Ayah Jimmy masih mengobrol sebentar lagi dengan
perempuan tua itu. Lalu Paman John membunyikan klakson dari pinggir
jalan, dan mereka harus pergi. Ternyata Ayah sama sekali lupa menanyakan
petunjuk jalan.
Perempuan tua itu berdiri di serambi mukanya pada
saat mereka berpamitan. Wajahnya dipalingkan ke arah bunyi derap kaki
mereka. Ia menunggu sampai ia mendengar kedua mesin mobil itu dihidupkan
kembali, lalu ia pun berseru lagi dengan suara keras: "Peganglah ini
t'rus, hai kalian! Yah, selalu peganglah ini t'rus!" dan dengan kedua
belah tangannya ia mengangkat Alkitabnya yang besar itu.
Si Jimmy menoleh kepada ayahnya; mukanya
memeperlihatkan rasa heran. "Rupanya ia tidak sedih, Ayah walau matanya
buta," kata Jimmy.
"Memang ia tidak sedih, Jimmy," Ayah menyetujui. "Ia
sudah belajar sesuatu yang sering dilalaikan orang-orang lain yang
punya mata tajam, Ibu tadi sudah tahu, kita harus berpegang terus pada
apa yang paling penting."
Kedua mobil itu terus melaju naik bukit, turun ke
lembah. Dan dengan irama ban-bannya yang berputar-putar terus, si Jimmy
seolah-olah dapat mendengar lagi seruan perempuan tua yang berkulit
hitam itu:
"Peganglah itu t'rus, hai kalian! Yah, selalu peganglah ini t'rus!"
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar